Kira-kira bagunan apakah ini? |
Menuliskan berbagai hal adalah sebuah perjalanan yang cukup panjang. Saat bermukim di daerah Kanada saya berniat untuk menuliskan berbagai pengalaman dan sudut pandangku tentang negara ini di blog pribadi. Hal ini dedikasikan untuk menambah pengetahuan para pembaca tentang negara yang kalau musim semi dan musim panasnya mirip dengan Indonesia.
Daun hijau di ujung musim semi menuju musim panas di salah satu hutan Kanada |
Akan tetapi hal yang
sangat berbeda yang saya temukan adalah sangat susah menemukan yang namanya
mesjid. Apalagi saya tinggal di sebuah daerah kecil atau mungkin bisa disebut
dengan kampung yang bernama Mackenzie yang merupakan kawasan pemukiman kecil di
salah satu ujung utara Pegunungan Rocky. Berpenduduk kurang lebih tak sampai di
angka lima ribu tentu saja kampung ini masih nyaman dan tidaklah terlalu ramai.
Sayangnya untuk
beribadah ke mesjid harus berkendaraan sejauh hampir 200 km ke kota besar bernama Prince
George. Pernah suatu kali saya pergi untuk melihat dan ingin shalat di mesjid
kota tersebut. Gayung bersambut akhirnya saya dapat tumpangan mobil teman saya
Janet O’Neil seorang pelatih figure scatting yang satu klub dengan saya di klub
badminton dan Tai Chi. Janet yang juga akan ke Prince George menemui anaknya dank
e dokter mata memberi saya tumpangan berangkat cukup pagi. Selain ingin ke
mesjid saat itu saya harus mengurus suatu keperluan ke kota Prince George
sedangkan kakak ipar dan kakak perempuan saya tidak bisa mengantarkan saya
sekalian nanti saya ingin ke mesjid tersebut. Semoga ada bahan cerita lain lagi
yang bisa saya dalami untuk saya tulis nantinya.
Akhirnya naiklah mobil
truck besar yang dikemudikan oleh seorang wanita setengah baya. Jangan salah di
Kanada pengemudi mobil berbadan bongsor di Kanada tidak memandang jenis
kelamin. Bisa saja yang keluar dari mobil itu adalah nenek-nenek mungil dengan
hewan peliharaannya yang hampir sama besar dengan badannya.
Kembali ke topik perjalanan
ke mesjid yang diantarkan oleh Janet. Saat di jalan kami bercerita banyak hal
tentang Kanada, Indonesia, dan juga agama. Janet adalah orang yang cukup ramah
dan punya pengalaman panjang sebagai seorang Canadian. Maka muncullah berbagai
topik pembicaraan yang cukup saya nikmati. Entahlah walaupun saya tidak pernah
resmi menjadi wartawan sebuah surat kabar harian bagi saya bertanya banyak hal
adalah sebuah kegiatan yang mengasyikkan. Di luar angin musim panas membuat
utara KAnada tidak terlalu dingin.
Pertama kami berbicara
tentang bagaimana tingkat pengganguran di Kanada. Dari sudut pandang Janet ia
menjelaskan kalau dimana-mana sama saja kalau malas takkan pernah bisa
mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi khususnya di Kanada diskriminasi terhadap
seseorang yang berbau SARA dalam perekrutan sebuah posisi tenaga kerja adalah
sebuah pelanggaran hukum. Bahkan anaknya yang kebetulan diberi nama bernafaskan
nama India pernah menyampaikan kegusarannya ‘awas saja kalau employer saya menolak saya karena nama
saya’. Kemudian ternyata setelah penulis telusuri di Kanada tidak boleh
mencantumkan jenis kelamin bagi pekerjaan yang tidak menuntut sex tertentu. Lucu juga ya, balas saya,
karena di Indonesia banyak sekali diskriminasi dan asosiasi sebuah profesi
berdasarkan jenis kelamin. Kalau di Kanada lowongan supir bus sekolah boleh
dilamar oleh para pelamar wanita ataupun pria. Hal ini tidak termasuk untuk
beberapa profesi yang secara kode etik haruslah dari jenis kelamin yang sudah
ditentukan seperti bidan yang haruslah wanita.
Mobil kami terus berjalan
baru setelah jalan menuju Prince George. Sampailah kami pada topik tentang
Hillary dan Trump. Janet menanyakan kepada saya mengenai pendapat saya tentang
calon presiden negara adidaya itu. Kebetulan pada saat itu memang sedang saat-saat
heboh dengan pemilu di egeri Paman Sam. Pendapat saya memang agak lucu yaitu ‘mungkin
sudah waktunya negara tersebut diurus oleh orang yang salah karena roda akan
bergulir’. Akan tetapi bagi Janet ia merasakan kekhawatiran yang tidak saya
rasakan. Karena Hillary bukanlah calon yang sudah tepat untuk menjadi presiden
sedangkan jika ia dikalahkan oleh Trump maka trump adalah sosok mengerikan yang
akan mengobrak-abrik banyak hal. Ya, sekarang ada benarnya juga ketika Trump
menang kebijakan politiknya lebih banyak memancing pertentangan daripada
ketengan di negara itu.
Tak terasa setelah
melewati berbagai danau dan hutan dan jalan lurus sampailah kami di kota Prince
George. Saya harus ke sebuah kampus untuk mengurus beberapa hal dan Janet pergi
makan siang dengan anak perempuannya yang tinggal di Prince George sambal pergi
ke dokter mata. Saat hendak turun mobil dia mengatakan bahwa saya akan dijemput
lagi saat ‘noon’. Saya kira noon itu malam eh ternyata artinya noon itu tengah
hari makanya siang hari itu disebut dengan after noon. Sebelumnya saya juga
meminta Janet setelah menjemput saya nanti mungkin bisa mengantarkan saya pergi
beribadah ke mesjid di muslim center Prince George. Karena hampir 4 bulan saya
tak pernah menginjakkan kaki ke mesjid saat itu.
Dan ternyata benar setelah menuntaskan keperluan
masing-masing kami berkendara membelah kota yang pernah jadi kota paling taka
man seantero Kanada ini. Setelah mengikuti alamat yang saya catat sebelumnya
sampailah di sebuah bangunan yang cukup unik. Saya berpikir jika meninggal di
Kanada apakah saya akan dikuburkan di samping bangunan yang punya kubah kecil
satu ini? Ketika parkir saya pamit ke Janet untuk pergi beribadah kira-kira
15-30 menit. Akan tetapi saat hendak masuk ke dalam mesjid mungil itu ternyata
mesjid dikunci. Dan ada tulisan kalau mesjid hanya dibuka saat awal waktu
shalat saja. Dan saya baru sadar kalau sudah telat 1 jam dari waktu dzuhur. Jadilah
pencarian mesjid kali itu berakhir hanya sampai di depan pintu mesjid. Ya,
tidak apalah mungkin selama tinggal di negara ini saya memang harus ditakdirkan
shalat di apartment keluarga saya saja. Ya sudahlah memang belum rezeki.
Akhirnya perjalanan itu di tutup dengan berkunjung ke patung Mr PG, maskotnya
kota Prince George, dan berbelanja di departemen store.
Ini adalah mesjid yang dikunci |
Akan tetapi saat pulang
terjadilah dialog antar dua pemeluk agama yang berbeda yang mungkin bisa saya
tuliskan di blog saya tercinta ini. Janet bertanya apakah arti ibadah terhadap
dirimu? Lalu saya jawab kalau bagi saya ibadah adalah sebuah titik untuk
menarik diri ke jalan yang saya percayai adalah yang paling benar. Dan dari
titik itu saya harusnya menjadi orang yang lebih baik. Sedangkan Janet beropini
kalau hari ini banyak orang di agamanya yang hanya pergi ke tempat beribadah
dan agamanya pun tinggal di tempat ibadah. Saat selesai keluar dari tempat
ibadah tersebut mereka tak berubah malah tambah brengsek. Saat saya renungi
lagi hingga tulisan ini saya tulis betul juga pendapat kalau dimana-mana
manusia tetaplah manusia. Manusia ada yang baik, berusaha lebih baik dan ada
juga yang jahat dan tetaplah bergerak ke arah yang lebih buruk.
Walaupun tak
mendapatkan apa yang saya tuju tapi memberi saya pengalaman dan sudut pandang
lain dari orang yang tumbuh dengan lingkungan, negara, ideologi, dan
kepercayaan yang berbeda dengan saya. Saat pulang ada kejadian unik saat kami
mengisi bensin di sebuah gas station saya yang setengah mengantuk tak sadar
kalau Janet sedang mengisi bensin mobil truck-nya akan tetapi kami berdua tak
sadar kalau mobil itu dalam keadaan hidup. Saat Janet balik ke bangku kemudi
dia ngucap berkali-kkali kalau dia lupa mematikan mesin mobil. Sayapun yang
setengah payah menahan kantukpun baru sadar kalau bisa saja saya akan mati
terpanggang di dalam mobil jika saja mobil tersebut meledak karena mesinnya tak
dimatikan saat mengisi bensin.
Alhamdulillah akhirnya
sampai kembali ke apartemen keluarga saya dengan selamat dengan cerita dan
pandangan baru lagi. Waktunya kembali menulis (walaupun dituliskan dalam cerita
pendek beberapa tahun kemudian).
Tulisan ini saya tulis untuk ikut mewarnai Blog Competition oleh Forum Lingkar Pena yang akan berulang tahun ke-21.
15 Februari 2018